Fax:(0274) 565639    humas@sardjitohospital.co.id
Germas BLU Berakhlak kars

Pearls and Pitfalls of Drug Allergy

Pendahuluan

Perkembangan obat baru untuk mengatasi penyakit manusia berkembang dengan pesat. Saat ini, 15%-30% pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami reaksi obat yang merugikan atau adverse drug reaction (ADR). Reaksi serius terjadi pada 7-13% pasien. Etiopatogenesis ADR bisa karena faktor genetik, alergi dan non alergi. Manifetasi klinis bisa karena reaksi alergi, reaksi autoimun maupun reaksi pseudo alergi, kebanyakan melibatkan ruam makulopapular eritematosa. Kesulitan diagnosis ADR cukup besar, karena mekanisme patogenetik sedikit diketahui. ADR perlu mendapat perhatian karena bisa fatal, berpengaruh pada indikasi rawat inap dan perpanjangan masa tinggal di rumah sakit.

 

Definisi

Reaksi obat yang merugikan dapat didefinisikan sebagai reaksi yang tidak diinginkan dan berbahaya dari obat yang diberikan dalam dosis standar oleh rute yang tepat untuk tujuan pencegahan, perawatan atau diagnosis dan pengobatan.

 

Prevalensi

Prevalensi ADR pada anak-anak berkisar dari 1% hingga 7,3%, sedangkan pada populasi umum diperkirakan sekitar 15%, dengan angka mulai dari 14% hingga 17%. Prevalensi ADR tampak lebih tinggi selama empat dekade pertama hidup. Insiden ADR adalah 5% pada bayi yang baru lahir, 11% pada anak-anak usia 1–2 tahun, dan 9% untuk anak-anak berusia 3–10 tahun, atau 76% untuk mereka yang berusia <7 tahun dan 59,5%  pada usia 7–12 tahun1.  Mayoritas reaksi adalah akibat antibiotik dengan dominasi b-laktam yang pada anak-anak mencapai 55,2% diikuti oleh aminoglikosida, tetrasiklin, vankomisin, nitrofurantoin (9,8%) dan makrolida. Kejadian ADR pada anak didominasi antibiotik (50%)  diikuti oleh kortikosteroid (16%), tuberkulostatik (4%) dan agen imunosupresif (4%).

 

Klasifikasi

Reaksi obat yang merugikan dapat dibagi menjadi empat jenis utama:

Tipe A: Tipe ini merupakan (8%) dari ADR. Kejadiannya dapat diprediksi tetapi efek klinis dan/atau farmakologis tergantung pada sifat intrinsik obat-obatan. Jenis ini tergantung dosis, dan umumnya tidak parah.

Tipe B: Tipe ini relatif jarang (20%). Efeknya aneh dan tidak dapat diprediksi, independen dari aksi dan dosis obat, sering parah, repons individual.

Tipe C: Merupakan reaksi kimia yang bisa diprediksi dari struktur obat atau metabolitnya.

Tipe D: Merupakan reaksi yang tertunda dari obat, termasuk teratogenisitas dan karsinogenisitas. Tipe ini jarang ditemukan di anak-anak.

Klasifikasi ini agak diabaikan oleh immunopharmacology. Pada ilmu sains terbaru telah terungkap bagaimana sejumlah obat dapat memodulasi respon imun. Dalam banyak kasus, ADR bisa masuk menjadi satu dari empat tipe hipersensitivitas klasik dimana reaksi autoimun harus ditambahkan. Dipercaya bahwa 25% dari kasus reaksi obat adalah patogenesis imunologi dan di 75% kasus adalah patogenesis ekstraimmunologi, dibagi lagi menjadi pseudoallergik, idiosinkrasi dan reaksi racun. Klasifikasi yang lebih berguna bersifat nosologis, baik untuk pencampuran yang sering empat jenis ini  dan untuk identifikasi gejala disebabkan oleh reaksi alergi dan pseudoalergik.

 

Etiopatogenesis

Faktor genetik

Faktor genetik memainkan peran penting dalam hipersensitivitas terhadap obat-obatan. Berbagai eksperimen penelitian telah membangkitkan minat yang dapat dimengerti, dengan menunjukkan bahwa ADR dikondisikan oleh faktor genetik spesifik terkait dengan HLA. Bidang immunopharmacology sudah berkembang dengan cepat mengklarifikasi bahwa banyak variasi individual dalam obat metabolisme ditentukan secara genetis. Oleh karena itu faktor genetik dapat bertindak pada berbagai tingkatan dalam biokimia rute menuju sensitisasi seperti pembentukan metabolit reaktif atau kapasitas yang diwariskan secara selektif mengembangkan antibodi spesifik untuk zat kimia tertentu.

 

Reaksi alergi

Alergen alergi terjadi ketika sistem kekebalan tubuh mengenali dan bereaksi terhadap antigen yang diturunkan dari obat, yang bisa juga diwakili oleh neo-epitop yang dibentuk berdasarkan perubahan klinis yang diinduksi obat. Kita semua tahu bahwa hanya sedikit antigen atau obat diperlukan untuk memicu alergi ADR. Jenis obat dapat dibedakan menjadi 2 atas berat molekulnya. Obat dengan berat molekul rendah bertindak sebagai haptens, dan perlu terkonjugasi dengan pembawa protein untuk menjadi antigenik. Obat dengan berat molekul tinggi tinggi (> 5.000 Da) dapat bertindak sebagai antigen.

Multiple drug hypersensitivity (MDH) adalah sindrom yang berkembang sebagai konsekuensi dari stimulasi sel-T dan ditandai dengan reaksi hipersensitivitas obat yang tahan lama (DHR) untuk obat yang berbeda. Gejala awalnya adalah kebanyakan exanthems parah atau ruam obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik (DRESS). Gejala selanjutnya karena obat lain sering muncul di minggu-minggu berikutnya, tumpang tindih dengan DHR pertama, atau berbulan-bulan sampai bertahun-tahun kemudian setelah resolusi presentasi awal. DHR kedua termasuk exanthema, erythroderma, DRESS, sindrom Stevens-Johnson /Nekrolisis epidermal toksik (SJS/TEN), hepatitis, dan agranulositosis. Obat-obatan yang memunculkan dapat diidentifikasi dengan positif tes kulit atau in vitro. Obat-obatan yang terlibat dalam memulai MDH sama dengan DRESS, dan mereka biasanya diberikan dalam dosis yang agak tinggi.

 

Reaksi Non-alergi

Reaksi nonalergi disebabkan oleh intoleransi dan idiosinkrasi, tidak lewat mekanisme yang dimediasi kekebalan. Ada tiga mekanisme dasar yaitu: 1. Aktivasi mediator sel mast oleh metabolit obat, dengan mekanisme langsung rilis histamin basofil, seperti misalnya di radiokontras; 2. Aktivasi jalur klasik dan/atau alternatif, dengan pembentukan anafilotoxins C3a dan C5a; 3. Penghambatan siklooksigenase (COX), seperti pada kasus NSAID yang bereaksi silang dengan ASA.

Reaksi intoleransi adalah karena ambang batas individu menurunkan aksi farmakologis, dengan secara kuantitatif efek yang meningkat, misalnya tinnitus yang disebabkan oleh dosis kecil salisilat atau efek obat yang tidak diinginkan diproduksi dengan dosis terapeutik atau subterapeutik obat. Reaksi idiosinkrasi terjadi pada pasien, secara genetik terdapat cacat metabolik atau enzimatik, setelah konsumsi obat tertentu.

ADR yang dianggap dapat diprediksi antara lain: a. Overdosis atau toksisitas  (contoh: aminoglikosida dan nefropati; b.Interaksi pemberian ≥ 2 obat-obatan; c. Efek samping yang disebabkan oleh farmakologis (antihistamin generasi pertama dan kantuk); d. Efek sekunder tidak langsung dari aksi farmakologi obat (kandidosis oral oleh kortikosteroid  yang dihirup, perubahan flora oral dan/atau enterik oleh antibiotik).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak 75% reaksi pada kulit, 10% pada saluran pernapasan atau gastrointestinal, dan sekitar 5% tidak diklasifikasikan. Manifestasi masing masing berbeda tergantung reaksi yang mendasari.

Manifestasi akibat reaksi tipe I, IgE-mediated

Gejala oleh reaksi alergi  tipe I, IgE-mediated bisa terjadi gejala sistemik anafilaksis (disebabkan oleh enzim, insulin, polipeptida dan antibiotik), gejala pada saluran pernapasan: bronkospasme, rinitis dan gejala pada kulit seperti urtikaria dan angioedema.

Reaksi tipe II: IgG sitotoksik dan IgM-dimediasi

Manifestasi bisa pada kelainan hematologi: anemia hemolitik dengan positif tes Coombs, gangguan trombosit, agranulositosis, juga bisa gejala Nefritis interstitial.

Reaksi tipe III

Manifestasi bisa serum sickness, glomerulonefritis, vaskulitis, drug induced SLE.

Reaksi tipe IV

Manifestasi bisa dermatitis kontak alergi, fotodermatitis, gejala pernapasan.

Obat yang sama mungkin melibatkan berbeda mekanisme.

 

Manifestasi oleh Reaksi Autoimun

Dalam beberapa kasus obat menginduksi auto-antibodi sering bertahan lama bahkan setelah perawatan dihentikan (anemia hemolitik autoimun, AIHA). Gejala mungkin terlibat mekanisme kekebalan tubuh antara lain: erupsi kulit (eritema, eritema multiform/EM, ruam maculopapular, dll.), sindrom mukokutan demam: EM, SJS, TEN, demam karena obat, pneumonia eosinofilia, hepatitis dan kolestasis, nefritis interstisial, limfadenopati.

 

Manifestasi oleh reaksi pseudoalergik

Manifestasi oleh reaksi pseudoalergik antara lain: reaksi anafilaktoid (contoh: media radiokontras), intoleransi terhadap salisilat, intoleransi berbagai aditif, ruam yang disebabkan oleh ampisilin.

 

Terjadinya manifestasi klinis setelah pemberian obat

Durasi terjadinya manifestasi klinis bisa segera, dari beberapa menit hingga 1 jam, seperti dalam kasus anafilaksis, bisa tertunda dalam beberapa hari seperti ruam eksanthematik, atau dalam beberapa minggu, seperti dalam kasus serum sickness.

 

Diagnosis

Kesulitan diagnosis ADR cukup besar, baik karena mekanisme patogenetik sedikit diketahui.

 

Riwayat keluarga

Apakah pernah terjadi reaksi obat-obatan? Jika jawabannya ya, perlu pengumpulan data yang teliti adalah metode terbaik untuk meminimalkan alergi dan nonalergik.

 

Riwayat personal

Kita pastikan apakah anak pernah menderita penyakit atopik dan kemungkinan paparan sebelumnya dengan obat-obatan. Perlu nformasi rinci dimana obat didapatkan, termasuk dosis, cara pemberian, durasi pengobatan, dan apakah anak itu minum obat, secara teratur atau sebentar-sebentar, dan reaksi mana yang terjadi selama periode di mana obat dikonsumsi.

 

Pemeriksaan fisik           

Pemeriksaan fisik yang teliti dapat menentukan mekanisme yang mendasari reaksi obat. Reaksi obat dapat terjadi sistemik atau mengenai satu atau beberapa organ. Kulit merupakan organ yang sering terkena.

 

Pemeriksaan Penunjang

Tes in vivo dan in vitro yang telah terbukti bermanfaat untuk membedakan reaksi alergi dan nonalergi. Uji tusuk kulit/skin prick test (SPT) merupakan reaksi segera. Dapat untuk obat-obatan dengan berat molekul tinggi (antigen lengkap), tetapi tidak dapat untuk yang berat molekul rendah. SPT dengan obat berat molekul tinggi dan dengan reagen penisilin dapat memprediksi anafilaksis dan reaksi urtikaria. Tes kulit untuk Preparat Penicilline diperlukan metabolit imunogennya, major antigenic determinant yaitu penicylloil, sayangnya preparat ini belum ada di Indonesia sehingga tes kulit terhadap Penicilline tidak dapat dilakukan di Indonesia. SPT untuk diagnosis alergi obat di Indonesia terutama antibotika tidak dianjurkan, karena predictive value nya tidak dapat dijadikan pegangan. Kalau hasil tes positif, masih mungkin alergi terhadap obat tersebut, tetapi kalau negatif belum tentu tidak alergi.

Uji RAST yang dimediasi IgE untuk anak-anak yang tidak dapat mentoleransi SPT. Tes Coombs biasanya berguna. Hemaglutinasi  jarang sesuai dengan gambaran klinis. Tes provokasi dilakukan bila pemeriksaan lain negatif dan diagnosis alergi obat masih meragukan. Tujuan tes ini adalah untuk menyingkirkan sensitifitas terhadap obat dan menegakan diagnosis alergi obat.

 

Pengobatan

Ada periode pengobatan utama yaitu: hentikan obat yang dicurigai dan substitusi yang dengan lain; lesi kulit dapat diobati dengan antihistamin oral, dan hanya dalam beberapa kasus yang dipilih mendapat obat kortikosteroid secara lokal atau per oral atau secara parenteral, tergantung pada kasus. Anak-anak adalah kandidat ideal untuk desensitisasi bila mungkin. Edukasi kepada pasien dan keluarganya antara lain menegaskan kepada pasien untuk menghindari obat yang sama, mendorong pasien untuk memakai gelang tanda alergi terhadap obat tersebut, mengingatkan pasien untuk menghindari obat bebas yang kandungannya tidak jelas.

Pencegahan

Pencegahan harus selalu mendahului pengobatan, yang terbaik caranya adalah meresepkan obat hanya jika benar-benar diperlukan. Medikasi sering diberikan tanpa ketat indikasi. Sebelum pemberian perlu diketahui obat yang diketahui atau dicurigai sebagai berbahaya. Keluarga bisa memperingatkan dokter bahwa mereka sebelumnya menderita reaksi alergi terhadap obat tertentu.

 

Kesimpulan

Alergi obat adalah masalah klinis umum, penilaian oleh ahli alergi penting untuk diagnosis yang tepat dan manajemen. Diagnosis bergantung pada riwayat yang teliti dan pemeriksaan fisik, dalam beberapa hal, uji kulit, desensitisasi bertingkat dan prosedur lain mungkin diperlukan. Pengobatan utama untuk alergi obat adalah penghindaran obat yang dicurigai. Reaktivitas silang di antara obat-obatan harus menjadi pertimbangan. Edukasi yang tepat perlu dilakukan kepada pasien dan keluarganya.

Kontributor :

Sumadiono, Sp.A(K)

KSM Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

 

Referensi

  1. Cantani A. Asthma and ImmunologyTop of Form. Dalam: Heilmann U,Heidelberg, penyunting. Pediatric Allergy. c Springer-Verlag Berlin Heidelberg: 2008. h 1147-1204
  2. Brockow K, Przybilla, Aberer E, et al., Guideline for the diagnosis of drug hypersensitivity reactions . Allergo J Int 2015; 24: 94–105
  3. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Asthma & Clinical Immunology: 2011, 7(Suppl 1):S10
  4. Werner J. Srinoulprasert PJ, Yun D, Hausmann O. Multiple Drug Hypersensitivity. Int Arch Allergy Immunol: 2017;172:129–138
  5. Aberer W, Bircher A, Romano A, et al., Drug provocation testing in the diagnosis of drug hypersensitivity reactions: general considerations. Allergy: 2003: 58: 854–863
  6. Rebelo GE, Fonseca J, Araujo L, Demoly P. Drug allergy claims in children: from self reporting to confir dfdmed diagnosis. Clin Exp Allergy 2008; 38;191-8
  7. Orhan F, Karakas T, Cakir M et al,. Parental-reported drug allergy in 6 to 9 yr old urban school children. Pediatr Allergy Immunol 2008; 19;82-5
  8. Lange L, Koningsbruggen SV, Rietschel E. Questionnaire-based survey of lifetime-prevalence and character of allergic drug reactions in German children. Pediatr Allergy Immunol 2008; 19;634-8
  9. Impicciatore P, Choonara I, Clarkson A, Provasi D, Pandolfini C, Bonati M. Incidence of adverse drug reactions in pediatric in/out-patients: a systematic review and meta-analysis of prospective studies. Br J Clin Pharmacol 2001; 52;77-83
  10. Brockow K, Romano A, Blanca M, Ring J, Pichler W, Demoly P. General considerations for skin test procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002; 57;45-51
  11. Aberer W, Bircher A, Romana A et al,. Drug provocation testing in the diagnosis of drug hypersensitivity reactions: general considerations. Allergy 2003; 58;854-63
  12. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR et al,. BSCAI guidelines for the management of drug allergy. Clin Exp Allergy 2009; 39;43-61
  13. Solensky R, Mendelson LM. Drug allergy and anaphylaxis. Dalam: Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, penyunting. Pediatric allergy, principles and practices. St. Louis: Mosby; 2003. h. 611-23.
Author Info

Tim Kerja Hukum & Humas

Tim Kerja Hukum dan Hubungan Masyarakat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

No Comments

Comments are closed.