Fax:(0274) 565639    humas@sardjitohospital.co.id
Germas BLU Berakhlak kars

Penggunaan Obat Statin Pada Pasien Stroke

Di Amerika Serikat, stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah jantung dan kanker, serta diderita oleh 500.000 orang per tahunnya. Di Indonesia, stroke merupakan penyebab kematian utama di hampir seluruh RS di Indonesia, yaitu sekitar 15,4%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia dari 8,3 per mil (tahun 2007) menjadi 12,1 per mil (tahun 2013). Di dunia, menurut SEAMIC Health Statistic 2000, penyakit serebrovaskuler seperti jantung koroner dan stroke berada di urutan kedua penyebab kematian tertinggi di dunia.

Stroke dapat berupa iskemik atau hemoragik dimana presentase masing-masing sebesar 87% dan 13% menurut AHA 2015. Stroke hemoragik meliputi subar achnoid haemorragic (SAH) dan intraserebral hemoragik (ICH). SAH terjadi saat darah masuk ruang subarachnoid (di mana cairan serebrospinal ditempatkan) karena trauma, pecahnya intrakranial aneurisma, atau ruptur malformasi arteriovenosa (AVM). Sebaliknya, ICH terjadi saat darah pembuluh pecah dalam parenkim otak itu sendiri, sehingga terbentuk hematoma. Jenis perdarahan ini sangat sering dikaitkan dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol. Stroke hemoragik lebih mematikan daripada stroke iskemik, dengan tingkat kematian fatal sebesar 46,5% setiap bulannya.

Stroke iskemik disebabkan oleh pembentukan trombus lokal atau oleh fenomena embolik yang dihasilkan dalam oklusi arteri serebral. Aterosklerosis, khususnya pembuluh darah serebral, adalah faktor penyebab ada kebanyakan kasus stroke iskemik, walaupun 30% bersifat kriptogenik. Emboli dapat timbul dari arteri intrakranial atau ekstrakranial (termasuk lengkungan aorta). Emboli kardiogenik diduga terjadi jika pasien memiliki fibrilasi atrium bersamaan, penyakit katup jantung, atau kondisi jantung lainnya yang bisa menuntun untuk pembekuan darah (Dipiro, 2017).

Statin telah ditemukan untuk memperbaiki fungsi endotel, memodulasi trombogenesis, mengurangi kerusakan inflamasi dan kerusakan oksidatif, dan memudahkan angiogenesis jauh melampaui penurunan kadar kolesterol. Statin juga telah terbukti secara signifikan mengurangi risiko kardiovaskular dan memperbaiki hasil klinis. Saat ini, statin dipertimbangkan menjadi terobosan terpenting dalam pencegahan stroke. Hasil studi meta analisis terhadap statin menunjukkan bahwa tiap penurunan kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) sebesar 1 mmol/L (39 mg/dl) sebanding dengan penurunan risiko relatif terjadinya stroke sebesar 21,1%. Saat ini statin direkomendasikan sebagai pencegahan utama stroke iskemik pada pasien yang diperkirakan memiliki risiko tinggi terjadinya kejadian kardiovaskuler. Meskipun demikian, hingga saat ini hanya ada sedikit bukti bahwa terapi menggunakan statin dapat mengurangi risiko kekambuhan stroke. Penelitian SPARCL yang dipublikasikan pada tahun 2016 menunjukkan manfaat terapi statin dalam pencegahan kekambuhan stroke yaitu sebesar 12-16% dan statin direkomendasikan pada pasien dengan stroke iskemik atau TIA. Telah diketahui bahwa efek pleiotropik utama statin pada arterosklerosis berdasarkan pada penurunan lipoprotein densitas rendah lipid (LDL). Statin menghambat secara kompetitif dan reversibel HMG-CoA(3-Hydroxy-3-Methylglutaryl coenzime A) reduktase, dimana hal ini merupakan tahap penentu kecepatan dalam biosintesis kolesterol. Mekanisme ini merupakan faktor utama dalam penurunan kejadian kardiovaskuler dan stroke iskemik pada pasien dengan penyakit arteri koroner. HMG-coA reduktase merupakan metabolit penting, di antaranya pembentukan isoprenoid dimana berperan penting dalam pemberian sinyal seluler dan kontrol fungsi sel seperti proliferasi, diferensiasi dan migrasi. 1. Penghambatan Formasi IsoprenoidIsoprenoid, seperti isopentil pirofosfat (IPP); 3,3-dimetilalil pirofosfat (DPP), geranyl pirofosfat (GPP), farnesyl pyrophosphate (FPP), geranylgeranyl pirofosfat (GGPP) adalah metabolit intermediate penting dalam jalur biosintesis kolesterol. Prenilasi (isoprenilasi), seperti farnesilasi dan geranyl geranylation, penting untuk penyisipan dan penyimpanan protein ke membran sel dan untuk fungsi biologis penuh. Translokasi protein Ras dan Ras-like (Rho dan Rac) ke membran bergantung pada farnesilasi dan geranyl geranylasi masing-masing. Statin memblokir transformasi HMG-CoA menjadi L-mevalonate, pembentukan isoprenoid seperti FPP dan GGPP, dan translokasi protein Ras dan Ras ke membran. Statin meningkatkan produksi dan ketersediaan hayati endotelium yang diturunkan dari oksida nitrat (NO) melalui pengurangan Rho GTPase. Dengan menghambat prenilasi Rac, statin menyebabkan pengurangan nikotinamida adenin dinukleotida fosfat oksidasease (NOX) dan generasi konsentrat oksigen reaktif (ROS). Ras endothelial mengaktifkan statin yang terkait dengan proliferasi seluler dan menyebabkan efek pro angiogenetik, 2. Perbaikan Fungsi Endothelial dan Reaktivitas VasomotorDisfungsi endotel adalah salah satu manifestasi awal aterosklerosis dan sangat terkait dengan kejadian stroke. Statin memperbaiki fungsi endotel dengan mengatur ulang endotel oksida nitrat sintase (eNOS). Statin melindungi endotel vaskular terhadap cedera yang dimediasi komplemen melalui regresi kondisi pelambatan (DAF), yang dimediasi oleh penghambat RhoA, tidak bergantung pada NO. Statin mengurangi ekspresi reseptor angiotensin II tipe 1 (AT-1) dengan pengentasan efek vasokonstriktor angiotensin II (AT-II) sesudahnya dengan cara Rho-dependent untuk meningkatkan vasorelaksasi. Statin juga menghambat ekspresi endothelin-1 (ET-1) pada jalur yang bergantung pada rho, untuk membatasi vasokonstriksi dan proliferasi VSMCs, 3. Modulasi TrombogenesisTrombosis pada aterosklerosis berperan penting selama stroke iskemik. Statin mengurangi produksi tromboksan A2 (TXA2) pada selaput trombosit dan selaput eritrosit, yang menghasilkan penurunan potensi trombogenik sel-sel ini. Statin mengurangi aktivasi trombosit dan pembentukan trombus yang dimediasi oleh penurunan prenilasi Rho-GTPase dan peningkatan ekspresi eNOS selanjutnya,  4. Mengurangi Kerusakan akibat peradanganProses inflamasi memiliki peran kunci dalam patofisiologi stroke iskemik. Statin telah terbukti menghambat terjadinya inflamasi sel, adhesi dan migrasi. Statin dikaitkan dengan penurunan biomarker inflamasi, dengan mengacu pada protein c-reaktif (CRP), sitokin (IL-1, IL-6, IL-12, tumor necrosis factor-α (TNF-α), IFN-γ), lipoprotein -terkait fosfolipase A2 [45-47]. Statin menghambat aktivasi faktor transkripsi inflamasi yang mengaktifkan protein-1 (AP-1) dan NF-Î ºB pada sel endotel manusia dan VSMCs, mungkin dimediasi oleh protein Rho dan Rac, 5. Pengurangan Stres OksidatifPelepasan dan produksi ROS dianggap sebagai peristiwa kunci dalam patogenesis disfungsi endotel dan aterosklerosis. Statin menurunkan pelepasan ROS yang diinduksi AT-II oleh dua mekanisme penting yang terlibat dalam pengaktifan Racna GTPase yang berkurang dari geranyl geranyl dan mengurangi ekspresi reseptor AT-1 yang dimediasi oleh destabilisasi AT1 mRNA [7]. Aktivasi NOX adalah sumber utama ROS selama stroke iskemik. Sistem pertahanan antioksidan sama pentingnya untuk stres oksidatif selain menghambat pembentukan ROS. Efek antioksidan statin dapat mengaitkan peningkatan aktivitas oksigenase-1 (HO-1) dan paraoxonase. Statin juga menghasilkan antioksidan yang lebih luas dengan meningkatkan aktivitas enzim pembilasan radikal, 6. Memudahkan terjadinya AngiogenesisPerbedaan angiogenesis dapat terjadi akibat konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi rendah atorvastatin atau Ras Endotelial mevastatin yang diaktifkan dan dipromosikan Akt dan eNOS fosforilasi, yang menyebabkan efek pro angiogenik, sementara konsentrasi tinggi mengakibatkan efek anti-angiogenik melalui penghambatan Ras dan RhoA tanpa meningkatkan regulasi eNOS. Namun, simvastatin dengan dosis yang sama mendorong angiogenesis dalam menanggapi kondisi hipoksia dan menghambat angiogenesis selama peradangan, yang menyiratkan bahwa efek angiogenesis juga bergantung pada lingkungan yang mendasarinya dan penyakit yang mendasarinya. Meskipun seluruh statin memiliki mekanisme aksi yang sama dalam penghambatan HMG-co Areduktase secara kompetitif dan reversibel, namun terdapat beberapa perbedaan diantara masing-masing obat. Statin mempunyai peranan yang signifikan dalam pencegahan primer dan sekunder terhadap kejadian kardiovaskuler dan iskemik cerebrovaskuler. Meskipun manfaat statin jelas terlihat pada stroke iskemik, analisis dari beberapa studi menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara terapi statin dengan perkembangan Intracerebral Hemorrhage (ICH). Efek farmakologik langsung terhadap penurunan kadar total kolesterol dan LDL disertai adanya efek pleiotropik diduga berkaitan dengan peningkatan risiko pada ICH. Namun beberapa bukti terbaru menunjukkan bahwa statin juga memiliki efek menguntungkan bagi outcome pasien ICH. Perbedaan penemuan ini yang disertai dengan kurangnya studi klinik prospektif yang disusun secara baik meningkatkan kompleksitas pengambilan/pembuatan keputusan klinik saat menggunakan terapi statin pada pasien ICH atau pada pasien dengan risiko ICH.

Mekanisme yang menyebabkan terapi statin dapat meningkatkan risiko perdarahan masih belum jelas. Studi sebelumnya menjabarkan adanya hubungan berkebalikan antara kadar lipid serum dan risiko ICH menunjukkan bahwa risiko kematian setelah 6 tahun dari kejadian ICH tiga kali lebih besar pada laki-laki dengan kadar kolesterol serum kurang dari 160 mg/dl. Menurut Konishi et al, penurunan kadar kolesterol berkontribusi terhadap perkembangan kerapuhan endotel serebro vaskuler dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya angione krosis dan perdarahan serebral pada kasus hipertensi. Mekanisme lain yang diduga dapat menyebabkan peningkatan risiko ICH dengan terapi statin adalah adanya up regulasi platelet dan ekspresi endhotelial nitric oxide synthase dan pelepasan platelet-derived nitric oxide. Efek ini memicu penurunan thrombosis arteri yang dimediasi platelet yang dapat bermanfaat dalam pencegahan stroke iskemik namun dapat merugikan pada ICH. Statin juga dapat meng-upregulasi TPA (Tissue Plasminogen Activator) endogen sehingga dapat memicu lisisklot dan kemungkinan dapat menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadinya ICH. Hal ini membuat para klinisi harus lebih kritis dan berhati-hati dalam mengevaluasi terapi statin pada pasien yang berisiko untuk terjadinya ICH. Hingga saat ini, tidak ada penelitian prospektif yang besar/luas dalam mengevaluasi keamanan dan efikasi terapi statin pada ICH. Meskipun penelitian retrospektif dari SPARCL menunjukkan adanya peningkatan risiko ICH, namun hal ini tidak tervalidasi pada beberapa studi meta analisis. Peningkatan risiko selama terapi menggunakan statin tergantung pada karakteristik pasien. Penelitian SPARCL didasarkan pada pasien yang sebelumnya mengalami stroke iskemik. Pasien dengan karakteristik tersebut memiliki kecenderungan mengalami microvascular injury sekunder akibat adanya stroke yang pernah dialaminya. Kombinasi antara microvascular injury sekunder dan terapi atorvastatin dosis tinggi dengan penurunan kadar kolesterol total yang dapat meningkatkan risiko ICH tidak terlihat pada penelitian lain yang dilakukan secara prospektif. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menjelaskan apakah ada risiko yang relevan secara klinik dari penurunan kadar kolesterol total serum dengan terjadinya ICH. Evaluasi kohort juga dibutuhkan untuk pasien secara spesifik yang akan mendapatkan manfaat dari penggunaan terapi statin yang dilanjutkan atau dihentikan yang berhubungan dengan ICH. Secara khusus, dampak terapi statin pada pasien geriatri, laki-laki maupun perempuan, pasien dengan komorbiditas spesifik (misal: penyakit kardiovaskuler, diabetes) dan pasien yang mendapatkan berbagai macam terapi obat secara bersamaan dan berinteraksi dengan statin juga sangat penting untuk dilakukan analisis efektivitas dan risiko untuk terjadinya ICH pada pengguna statin. Oleh karena itu, peengambilan keputusan dengan mempertimbangkan penggunaan terapi statin pada pasien dengan ICH atau berisiko ICH harus berdasarkan pada masing-masing individu pasien agar didapatkan manfaat secara maksimal dan meminimalkan risiko.

Perbedaan farmakologi di antara beberapa jenis statin dapat berdampak pada risiko dan manfaat dari terapi statin pada ICH. Kemampuan statin dalam hal penetrasi melewati sawar darah otak hingga sampai ke korteks serebral sangat tergantung dari lipofilisitas masing-masing obat. Penelitian menggunakan model murine untuk mengevaluasi konsentrasi simvastatin, lovastatin dan pravastatin pada korteks serebral menunjukkan bahwa konsentrasi terbesar dicapai oleh simvastatin, diikuti lovastatin, dan diikuti oleh pravastatin. Hasil tersebut konsisten dengan sifat simvastatin dan lovastatin yang merupakan obat statin dengan sifat paling lipofilik. Hal lain yang harus dipertimbangkan selain sifat farmakokinetik statin adalah potensi penurunan LDL dari masing-masing obat. Dua penelitian dilakukan untuk mengevaluasi potensi relatif dari terapi statin. Potensi didefinisikan berupa perubahan prosentase LDL dari baseline. Hasilnya menunjukkan bahwa rosuvastatin adalah yang paling poten diikuti dengan atorvastatin, pitavastatin, simvastatin, lovastatin, pravastatin, dan fluvastatin.

Statin memiliki risiko klinik yang harus dipertimbangkan secara klinik sebelum memulai terapi menggunakan statin. Pada populasi umum, peningkatan enzim hepar secara asimptomatik telah dilaporkan terjadi pada 1% pasien yang menggunakan terapi statin dan kejadian tersebut berkaitan dengan dosis statin yang digunakan. Perbaikan secara spontan terjadi dengan penghentian penggunaan statin. Myopati juga telah dilaporkan dengan angka kejadian kurang dari 0,1%. Namun jika hal ini tidak ditangani maka myopati dapat berkembang menjadi rhabdomyolisis yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan end-organ dan berujung pada kematian. Meskipun hanya sedikit percobaan klinik yang mengevaluasi profil keamanan terapi statin pada pasien ICH, risiko efek samping dapat diekstrapolasikan dari populasi neurocritically ill dan critically ill. Studi prospektif terbaru mengevaluasi terapi statin 21 hari setelah terjadinya SAH (Subarachnoid Hemorrhage) pada 803 pasien dengan aneurisma SAH. Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hal peningkatan tes fungi hepar atau rhabdomyolisis bila dibandingkan dengan plasebo. Dari hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pasien dengan ICH berisiko mengalami myopati terkait dengan immobilitas, pemanjangan ventilasi mekanik, pemberian kortikosteroid dan agen pengeblok neuromuskuler selama masa perawatan.

Interaksi obat juga harus dipertimbangkan pada pasien yang sedang menggunakan atau akan memulai terapi menggunakan statin. Hampir seluruh statin dimetabolisme via enzim sitokrom P450. Pertimbangan secara hati-hati harus diberikan pada interaksi obat karena induser dan inhibitor enzim tersbut dapat menurunkan efikasi dan meningkatkan risiko toksisitas. Jika penghentian obat-obat yang berinteraksi dengan statin tidak dimungkinkan maka pilihlah statin dengan risiko paling rendah untuk terjadinya interaksi.

Penelitian SPARCL (Stroke Prevention by Aggressive Reduction in Cholesterol Levels) mengevaluasi atorvastatin dosis tinggi (80 mg) dibandingkan dengan plasebo untuk terjadinya stroke fatal dan nonfatal pada pasien dengan riwayat TIA (transient ischemic attack) atau stroke 6 bulan sebelumnya. Hasilnya menunjukkan pengurangan risiko absolut terhadap terjadinya stroke fatal dan nonfatal pada pasien yang menggunakan atorvastatin dosis tinggi. Analisis post hoc dari efek terapi terhadap tipe stroke menunjukkan bahwa terjadi peningkatan secara signifikan terhadap terjadinya stroke hemoragik pada kelompok pasien yang menggunakan atorvastatin dosis tinggi. Evaluasi lanjutan dari studi kohort menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hal keparahan atau outcome pada kedua kelompok uji tersebut untuk terjadinya stroke hemoragik.

Penelitian dari Swedia yang mengevaluasi hubungan antara penggunaan statin jangka panjang dengan ICH menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan risiko untuk terjadinya ICH. Statin diketahui memiliki efek protektif melawan ICH pada pasien dengan penyakit komorbid dan menggunakan berbagai macam obat. Analisis retrospektif lanjutan menunjukkan bahwa pengguna statin jangka panjang mempunyai tingkat keparahan yang rendah terhadap ICH. Beberapa studi meta analisis melaporkan tidak ada perbedaan terhadap terjadinya ICH pada pasien yang menerima terapi statin bila dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima terapi statin. Terapi pre ICH berkaitan dengan peningkatan probabilitas outcome positif secara fungsional. Studi meta analisis yang dilakukan McKinney et al yang meliputi 31 RCT (randomized control trials) pada 182.803 pasien termasuk pasien dari penelitian SPARCL menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan terjadinya ICH yang diamati pada pasien yang menggunaka terapi statin. Studi tersebut juga menunjukkan tidak ada hubungan antara pencapaian kadar LDL atau penurunan derajat LDL dari baseline dengan risiko ICH. Analisis tersebut menunjukkan penurunan signifikan pada total stroke dan semua penyebab kematian pada pasien yang menggunakan terapi statin. Guideline terbaru tidak merekomendasikan untuk menghindari terapi statin karena berkaitan dengan potensial risiko ICH.

Hingga saat ini belum ada penelitian prospektif RCT yang secara adekuat mengevaluasi dampak inisiasi terapi statin terhadap outcome klinik mayor setelah terjadinya ICH. Beberapa studi meta analisis menunjukkan perbaikan mortalitas dan outcome fungsional dengan adanya terapi statin setelah terjadinya ICH. Sayangnya, tidak ada analisis yang secara jelas menggambarkan kapan waktu yang tepat untuk inisiasi terapi statin setelah terjadinya ICH. Sebuah review menunjukkan bahwa penggunaan statin secara dini tidak meningkatkan risiko kekambuhan ICH. Semua penyebab kematian secara signifikan lebih rendah pada pasien yang menerima terapi statin secara dini. Meskipun dari beberapa data tersebut tidak dapat disimpulkan, inisiasi terapi statin post ICH masih masuk akal asalkan potensi manfaatnya melebihi risiko yang mungkin terjadi.

Penghentian terapi statin setelah terjadinya ICH dievaluasi pada beberapa analisis retrospektif. Penghentian ini secara signifikan berkaitan dengan peningkatan kematian. Hasil ini harus dilihat dengan hati-hati karena ada faktor lain yang dapat berperan secara signifikan serta berkaitan dengan managemen withdrawal agresif. Penelitian secara prospektif sangat dibutuhkan untuk mengevaluasi efek penghentian terapi statin pada ICH akut. Hingga ditemukan bukti penelitian terbaru, adalah hal yang masuk akal untuk melanjutkan terapi statin pada pasien ICH kecuali ada kontra indikasi.

Kontributor :

Fitriana Murniwati

Instalasi Farmasi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Sumber :

Castilla-Guerra L, dkk, 2016, Statins in Stroke Prevention : Present and Future, Curr Pharm

Edward T Van Matre, dkk, 2016, Management of Intracerebral Hemorrhage-Use of Statins, NCBI

Jingru Zhau, dkk, 2014, The Many Roles of Statin in Ischemic Stroke, NCBI

Joseph T. DiPiro, dkk, 2017,  Pharmacotherapy Handbook 10th Edition, McGraw Hill

 

Author Info

Tim Kerja Hukum & Humas

Tim Kerja Hukum dan Hubungan Masyarakat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

No Comments

Comments are closed.