Fax:(0274) 565639    humas@sardjitohospital.co.id
Germas BLU Berakhlak kars

Diare Kronis Pada Anak

Diare didefinisikan sebagai kelainan sistem saluran cerna yang ditandai dengan kelainan dalam frekuensi dan konsistensi dari pengeluaran feses. Meskipun peningkatan frekuensi BAB (>3x/hari) merupakan bagian dari definisi dari diare,  tetapi tidak bisa berdiri sendiri melainkan juga harus ditandai dengan perubahan konsistensi feses.

Untuk anak, batasan peningkatan keluaran feses adalah lebih dari 10 g/kg/24 jam. Diare kronis adalah keluarnya tinja yang abnormal dan sering  dan berlangsung 14 hari atau lebih yang dapat berupa air (watery), dalam jumlah besar (bulky) atau disentri, dapat bermula secara perlahan (insidious) atau cepat (akut). Dalam hal akut sering digunakan istilah diare persisten atau sindroma paskaenteritis. Erat kaitannya dengan istilah diare kronik adalah diare intraktabel (intractable diarrhea) yang merupakan episode diare yang kronik atau persisten, tanpa penyebab yang dapat ditemukan, yang tidak responsif terhadap pola pengobatan yang normal/konvensional dan biasanya memerlukan nutrisi parenteral.

Prevalensi diare kronis pada anak berkisar antara 3% sampai dengan 20%. Diare kronis, rekuren pada bayi bersama dengan malnutrisi, menyebabkan kematian 4,6 juta anak di seluruh dunia setiap tahunnya. Walaupun angka kejadian diare kronik adalah relatif kecil bila dibandingkan dengan diare akut, namun diare kronik secara potensial sangat berperan dalam morbiditas, mortalitas dan malnutrisi terutama pada anak.

Ada 2 faktor utama yang berperan menimbulkan diare yaitu faktor intraluminal dan mukosa. Keterlibatan faktor-faktor intraluminal adalah dalam proses digestif, sedangkan faktor-faktor mukosa dalam proses digestif dan transport nutrien melintasi mukosa. Faktor intraluminal diantaranya terdiri dari kelainan di pankreas, hepar dan membran enterosit.

Faktor mukosal menyebabkan diare kronis dapat diakibatkan oleh gangguan integritas mukosa karena infeksi seperti bakteri, virus, parasit dan jamur. Infestasi parasit seperti Giardia atau criptosporidia dapat terjadi sebagai diare kronik. Penyakit peradangan usus seperti colitis ulseratif, penyakit crohn, dan colitis mikroskopik dapat menyebabkan gangguan pada integritas mukosa yang berakibat penurunan absorpsi dari elektrolit air melalui traktus gastrointestinal. Intoleransi susu sapi dan protein kedelai dapat terjadi pada diare yang diakibatkan atropi vilus parsial atau kolitis alergika. Gangguan fungsi imun seperti pada pasien dengan agammaglobulinemia, defisiensi imunoglobulin A terisolasi, gangguan imunodefisiensi terkombasi dapat mengakibatkan diare. Pasien dengan AIDS lebih rentan terhadap infeksi bakteri, virus dan jamur. Hal yang sama, enteropati autoimun dan gastroenteropati eosinofilik diyakini sebagai gangguan yang mencakup gangguan fungsi imun mukosa dan dapat menyebabkan diare. Gangguan fungsi transpor mukosa seperti yang nampak pada gangguan kongenital yang mencakup pertukaran Na+ H+, pertukaran Cl/HCO3,  transpor asam empedu dan transpor glukosa galaktosa, berakibat pada diare pada awal periode neonatal. Hal yang sama, gangguan absorbsi zinc, seperti enteropatika akrodermatitis dan  transpor  folat, dapat mengakibatkan diare.

Diagnosis

Dalam mengevaluasi pasien dengan diare kronis, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik yang cermat dan pemeriksaan laboratoris yang teliti dapat memberikan informasi yang diperlukan. ada beberapa tingkatan pemeriksaan yang harus dilalui diantaranya:

Fase I Riwayat penyakit termasuk jumlah cairan yang diminum setiap harinya

Pemeriksaan fisik termasuk status nutrisional

Pemeriksaan feses (PH, reduksi, hapusan hitung sel darah putih, lemak, ova dan parasit)

Kultur feses

Toxin Clostridium defficile

Pemeriksaan darah (Hitung jenis, KED, elektrolit, BUN, kreatinin)

Fase II Sweet chloride

Pengumpulan feses 72 jam untuk determinasi lemak

Elektrolit dan osmolalitas feses

Pemeriksaan phenophthalein, Mg sulfat , fosfat

Breath H2 tests

Fase III Pemeriksaan endoskopi

Biopsi usus kecil

Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dan dengan biopsi

Pemeriksaan dengan barium

Fase IV Pemeriksaan hormonal seperti vasoaktif polipeptida saluran cerna, gastrin, sekretin, pemeriksaan 5-hydroxyindoleacetic

 

Ada 14 point yang harus diperhatikan dalam menilai pasien dengan diare kronis:

  1. Karakteristik onset diare: apakah gejala dimulai sejak lahir/congenital, tiba-tiba atau perlahan
  2. Pola diare : apakah terus-menerus atau intermiten?
  3. Lamanya gejala diare
  4. Faktor epidemiologi seperti perjalanan ke suatu daerah, pemaparan/ dengan makanan atau air yang terkontaminasi.
  5. Karakteristik feses: apakah cair, disertai darah atau berlemak.
  6. Ada atau idaknya inkontinensia
  7. Ada atau tidaknya nyeri perut. Nyeri perut khas untuk pasien-pasien penyakit peradangan usus.
  8. Apakah disertai dengan penurunan berat badan? Biasanya lebih sering terjadi pada malabsorpsi, neoplasma atau iskemia.
  9. Ada tidaknya faktor pemicu seperti diet dan stress.
  10. Faktor-faktor yang meringankan seperti perubahan diit dan penggunaan obat yang diresepkan atau yang dijual bebas.
  11. Evaluasi sebelumnya harus dijelaskan seperti catatan objektif radiogram dan sepismen biopsi.
  12. Penyebab iatrogenik diare harus diteliti dengan mencari riwayat pengobatan yang detail dan riwayat terapi radiasi atau pembedahan.
  13. Perlu ditanyakan penggunaan obat-obat laksansia.
  14. Anamnesis yang teliti dari semua sistem harus dilakukan untuk mencari adanya penyakit sistemik seperti hipertiroid, diabetes mellitus, penyakit kolagen vaskuler dan kondisi peradangan lain, sindroma tumor, AIDS, dan masalah imun lainnya.

Tahapan pemeriksaan diare:

  1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang cermat dan lengkap sangat penting untuk menentukan keparahan diare dan dapat mengetahui penyebab diare pada beberapa kasus. Penting sekali menilai ada  tidaknya kekurangan nutrisi dan cairan, ada tidaknya kelainan pada kulit, ulkus pada mulut, massa tiroid, bising jantung, wheezing, ascites, edema. Pemeriksaan anorektal untuk menilai kontraksi dan tonus otot sphincter ani untuk melihat ada tidaknya fistula atau abses.

  1. Pemeriksaan laboratorium rutin

Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk membuktikan adanya anemia dan mengklasifikasikan jenis anemianya. Lekositosis menunjukkan adanya proses inflamasi dan infeksi bakterial, eosinofia dapat dijumpai pada kasus-kasus keganansan, alergi, penyakit kolagen-vaskuler, infestasi parasit dan gastroenteritis eosinofilik atau kolitis. Pemeriksaan kimia darah dapat memberikan informasi penting tentang status cairan dan elektrolit pasien, status nutrisi serta kelainan pada hepar .

  1. Analisis feses

Analisis dan pemeriksaan feses secara kuantitatif merupakan pemeriksaan penting yang dapat memberikan informasi tentang tipe maupun keparahan penyakit diare. Analisis feses yang perlu dilakukan antara lain:

  1. Pemeriksaan konsentrasi Na dan K pada diare yang cair, untuk mengetahui nilai osmotic gap. Osmotic gap feses dapat dihitung dengan rumus 290-2({Na+}+{K+}. Diare osmotik bila nilai osmotic gap >125 mOsm/kg, sedang diare sekretorik bila <50 mOsm/kg.
  2. Penilaian pH feses, bila <5,6 menunjukkan adanya malabsorpsi karbohidrat.
  3. Pemeriksaan darah tersamar, bila positif menunjukkan adanya penyakit peradangan usus, neoplasma, atau penyakit celiac.
  4. Pemeriksaan lekosit feses dapat menunjukkan diare inflamasi.
  5. Pemeriksaan lemak feses dengan menggunakan pengecatan sudan atau pemeriksaan langsung. Adanya globul lemak yang berlebihan dengan pengecatan atau ekskresi lemak feses >14 g/24 jam menunjukkan adanya malabsorpsi atau maldigesti lemak. Bila konsentrasi lemak feses >8% sangat kuat menunjukkan adanya insufisiensi eksokrin pankreas.
  6. Pemeriksaan skrining laxative untuk diare kemungkinan karena pemakaian obat-obat laksansia.

 Terapi empirik pada kasus diare kronis diberikan pada kasus dimana:

  1. sebagai terapi inisial / temporer sebelum tes diagnostik dilakukan
  2. setelah langkah diagnostik gagal menentukan diagnosis sebenarnya
  3. jika diagnosis sudah dibuat, tetapi tidak ada terapi spesifik atau dengan terapi spesifik gagal mengatasi diare kronis

Terapi empirik yang dapat diberikan diantaranya :

  1. Terapi antibiotik, dapat dipertimbangkan jika prevalensi infeksi bakterial atau protozoa cukup tinggi dikomunitas.
  2. Cairan rehidrasi oral yang mengandung garam, glukosa dan nutrien lain tetap diperlukan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.
  3. Terapi simptomatik, diberikan jika respon yang jelek penanganan diare kronis dengan beberapa agen. Contohnya:
    • Opiat natural (opium, codein, morphine) ataupun sintetik (diphenoxylate, loperamid)
    • Somatostatin analog (octreotide) terbukti efektif pada kasus tumor carcinoid, tumor pensekresi peptida, sindroma dumping dan diare yang diinduksi oleh khemoterapi, tetapi harus diberikan secara injeksi dan mahal.
    • Agen intraluminal, termasuk diantaranya adsorban ( contoh : activated charcoal, Bile acid binding agents (cholestiramin), binding resin, bismuth maupun medicinal fiber.

Penulis :

Neti Nurani, M.Kes, Sp.A (K) ,

Prof. dr. Mohammad Juffrie, Sp.A(K), Ph.D

KSM Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Sumber :

  1. Talley NJ, Weaver AI. Zinsmeister AR , Melton LJ III. Self-reported diarrhea: what does it mean? Am J Gastroenterol 1994;89:1160-4.
  2. Ghishan FK. Chronic Diarrhea. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition. 2004:1276-1281.
  3. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM. Diare kronik dalam Sindroma diare.Gastroenterologi anak edisi 2. GRAMIK FK Unair. RSUD Dr Soetomo Surabaya. 1999..
  4. Gracey M, Burke V Gastrointestinal Infections, In:M Gracey, V Burke eds. Pediatric Gastroenterology and Hepatology 3rd ed. Boston: Blackwell Scientific Pub. 1993:241-300.
  5. Keating JP. Chronic Diarrhea. Pediatric in Review. 2004
  6. DeWitt TG. Acute Diarrhea in Children. Pediatric in Review. 1989;11:6-12.
  7. American Gastroenterological Association. AGA Technical Review on the Evaluation and Management of Chronic Diarrhea. Gastroenterology. 1999;116:1464-1486.
Author Info

Tim Kerja Hukum & Humas

Tim Kerja Hukum dan Hubungan Masyarakat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

No Comments

Comments are closed.