Fax:(0274) 565639    humas@sardjitohospital.co.id
Germas BLU Berakhlak kars

Konseling dan Testing HIV (KT-HIV)

Sampai saat ini HIV-AIDs masih menjadi masalah kesehatan global maupun nasional. Cita-cita untuk mengakhiri epidemi AIDS di 2030 tinggal 8 tahun lagi. Cita-cita tercapainya getting to three zero yaitu zero new infection (tidak ada kasus baru HIV-AIDS), zero AIDS related death (tidak ada kematian terkait AIDS) dan zero stigma and discrimination (tidak ada stigma dan diskriminasi) masih harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Infeksi baru di kalangan usia produktif bahkan remaja terus menunjukkan peningkatan. Sesuai dengan Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV-AIDS, salah satu upaya penanggulangan adalah melalui layanan Konseling dan Tes HIV baik melalui pendekatan Konseling dan Tes Sukarela (KTS) maupun Tes Inisiasi Petugas Kesehatan (TIPK), dengan tetap memperhatikan Prinsip Tes HIV 5C, yaitu Consent (persetujuan pasien), Confidentiality (kerahasiaan), Counseling (konseling), Correct test result ( hasil tes harus valid/benar), Connect to care (dihubungkan dengan layanan Pengobatan, Perawatan dan Dukungan). Dengan demikian, Tes HIV berperan sebagai pintu masuk dalam Pencegahan dan Perawatan HIV.

a. Penerimaan dan koping akan status barunya

Menerima status positif HIV bukanlah soal mudah,karena berimplikasi terhadap keseluruhan daur hidup seseorang. Perlu konseling yang adequat agar respon negative bisa diminimalisir dan pasien bisa bertanggung jawab terhadap kesehatan pribadi maupun orang lain. Konseling post tes yang baik ikut berperan agar fase berduka bisa lebih cepat dan  penerimaan diri sebagai mekanisme koping positif sesegera mungkin didapatkan. Konseling yang baik juga berperan dalam kepatuhan pasien terhadap pengobatan ARV.

 b. Promosi dan fasilitasi perubahan perilaku

Perlu edukasi bagaimana cara berhubungan seksual yang aman dengan penggunaan kondom yang konsisten maupun akses layanan alat suntik steril/LAS bagi pengguna narkotika suntikan ataupun berganti/substitusi ke terapi Metadon. Upaya ini seringkali menimbulkan pro dan kontra,namun yang harus diingat adalah prinsip harm reduction dan harm minimisation atau pengurangan dampak buruk.

Perubahan perilaku termasuk mengajarkan pasien untuk bisa bersikap asertif dengan patner seksualnya. Era informasi teknologi telah merubah drastis gaya hidup generasi muda. Kemudahan mencari patner seks melalui berbagai aplikasi kencan semudah membeli kacang goreng. Dari konseling sering terungkap bahwa pasien tidak selalu menginginkan hubungan seks penetratif tanpa kondom,dalam hal ini anal seks pada LSL,tetapi tidak enak dan sungkan untuk menolak. Bersikap asertif menjadikan pasien lebih berdaya terhadap pilihannya dan bisa melakukan negoisasi kondom dengan baik.

c. Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA)

Penularan ibu kepada bayi yang dikandungnya bisa terjadi pada saat dalam kehamilan,saat persalinan dan menyusui. Dengan deteksi dini melaui penawaran tes rutin pada ibu hamil saat ANC risiko penularan kepada bayi bisa diminimalisir. Program yang dicanangkan adalah Triple eliminasi,yaitupenawaran tes HIV,Hepatitis dan Syphilis kepada ibu hamil. Thailand adalah contoh sukses sebagai negara pertama di Asia yang berhasil mengeliminasi bayi baru lahir dengan HIV.

 d. Pencegahan,penapisan dan terapi IMS

Sebagai salah satu penyakit yang menular melaui transmisi seksual,maka tes HIV mempunyai peran strategis untuk skrining IMS begitu juga sebaliknyapasien IMS diskrining HIV. Dari penapisan seringkali didapatkan tidak hanya satu macam IMS tetapi bisa dua bahkan lebih. IMS yang tidak teratasi akan membebani HIV begitu juga ebaliknya.

 e. Manajemen dini Infeksi Oportunistik/IO

Infeksi Oportunistik bisa diketahui dan diterapi lebih dini bersamaan dengan hasil tes HIV yang diterima oleh pasien. Salah satunya dengan pemberian Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) untuk untuk mencegah PCP,Toksoplasmosis,infeksi bacterial dan diare kronis.

 f. Akses layanan pengobatan dini termasuk terapi ARV,Terapi Pencegahan TBC/TPT

Pendekatan yang dilakukan saat ini adalah test and treat yaitu saat hasil tes dinyatakan reaktif maka langsung diberikan ARV,kecuali ada kontra indikasi. Namun perlu diberikan konseling kepatuhan/adherence yang memadai agar pasien faham tentang pengobatanya. Tujuannya agar angka loss to follow up/LFU karena ketidak tahuan pasien tentang terapi dan penyakitnya bisa diminimalisir. Disamping itu jika pasien tidak ada IO TBC maka diberikan Terapi Pencegahan Tuberculosis/TPT. TBC adalah infeksi oportunistik tersering pada ODHA dan salah satu penyebab kematian terbanyak pada ODHA. Kolaborasi TB-HIV adalah salah satu langkah untuk menjamin pasien TB-HIV mendapatkan pengobatan yang baik. Jika tidak TB akan membebani HIV dan HIV akan membebani TB.

 g. Akses Kondom baik laki-laki maupun perempuan

Kondom merupakan alat pencegahan HIV dan IMS yang efektif. Kondom wajib ditawarkan dan diberikan edukasi yang memadai tentang cara pakai yang benar kepada pasien-pasien khusunya yang mempenyai risiko penularan tinggi seperti pada populasi kunci ( pekerja seks baik laki-laki/perempuan,lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL),Pengguna Narkotika Suntik ( Penasun),Waria dan Warga Binaan Penjara (WBP). Perlu disiapkan juga kondom perempuan jika klien kita pekerja seks perempuan yang masih  mengalami kesulitan untuk menawarkan kondom kepada pelanggannya karena posisi tawar yang masih rendah.

 h. Akses Keluarga Berencana

Positif HIV bukan berarti halangan seseorang untuk memiliki keturunan maupun kehidupan seksual yang menyenangkan. Kondom adalah pilihan terbaik untuk mencegah penularan kepada pasangan khususnya bila status HIV pasangan negative/sero diskordan. Alat kontrasepsi hormonal bisa digunakan apabila kadar Viral Load dalam darah sudah tidak terdeteksi. Namun untuk pertimbangan keamanan tetap dianjurkan menggunakan kondom. Sehingga risiko penularan HIV maupun Kehamilan Yang Tidak Diharapkan (KTD) bisa dihindari. Viral Load tidak terdeteksi adalah saat yang tepat untuk merencanakan kehamilan.

 i. Dukungan Sebaya,sosial & masyarakat termasuk kelompok ODHA

Merujuk ODHA kepada Kelompok Dukungan Sebaya/KDS penting sekali untuk mempercepat fase penerimaan pasien. Pasien tidak merasa sendiri karena memiliki teman bercerita yang mempunyai ststus kesehatan yang sama. Sementara kekurangan kita sebagai tenaga kesehatanhanya bisa memberikan edukasi,pasien tidak mendapatkan contoh nyata atau role model dari Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) yang sehat dan bisa hidup dan bekerja seperti orang non HIV.

 j. Normalisasi dan destigmatisasi HIV-AIDS

Ini berarti menempatkan HIV sama seperti penyakit lainnya. Dengan normalisasi diharapkan stigma maupun diskriminasi akan berkurang atau tidak ada baik di masyarakat maupun dikalangan tenaga kesehatan. Untuk sampai di tahapan ini masih harus bekerja keras melalui edukasi,bimbingan teknis ke layanan kesehatan lain. Dari pengalaman beberapa kali bimbingan teknis ke layanan kesehatan lain, masih ditemui hal-hal mendasar yang tidak perlu dilakukan seperti pemisahan kamar mandi,menaruh urutan pasien HIV paling akhir dsb.

 

Kontributor :

Mohamad Zaenal Abidin

Konselor HIV Poliklinik Edelweis

KFK Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

 

Referensi

  1. Permenkes RI No 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV-AIDS
  2. Permenkes RI No 74 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV
  3. Modul Teknis Layanan Komprehensif Berkesinambungan,Kementrian Kesehatan RI 2012
  4. Modul Pelatihan Konseling dan Tes HIV,2012

 

 

Author Info

Tim Kerja Hukum & Humas

Tim Kerja Hukum dan Hubungan Masyarakat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

No Comments

Comments are closed.