Fax:(0274) 565639    humas@sardjitohospital.co.id
Germas BLU Berakhlak kars

Virginity, masih relate-kah saat ini?

Keperawanan didefinisikan sebagai kondisi seorang perempuan yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Secara umum hal ini ditandai dengan intaknya himen atau selaput dara (Saraiya, 2019) yang dapat dibuktikan dengan adanya perdarahan saat hubungan seksual pertama kali setelah pernikahan. Virginity atau keperawanan bukanlah terminologi medis dan ilmiah, namun lebih pada hasil bentukan dari sosial, kultural dan religi (WHO, 2018). Begitu pentingnya nilai keperawanan ini, pada suatu masyarakat tertentu sehingga hal ini harus dibuktikan dalam bentuk adanya bercak darah disprei (blood on the sheet) setelah malam pertama, jika hal ini gagal dibuktikan maka pihak keluarga pengantin laki-laki berhak menuntut pembatalan pernikahan (Parth, 2018). Hal ini sangat mempermalukan dan merugikan perempuan, sangat jelas ketidak- adilan gender dengan menggunakan parameter perdarahan pada hubungan seksual pertama kali dengan pembuktian status keperawanan (The Week, 2019). Keperawanan merupakan sebuah kebanggaan dan kehormatan bagi seorang perempuan dan keluarganya. Dalam masyarakat Arab, seorang gadis yang diketahui tidak perawan lagi saat malam pertama pernikahan akan sangat mempermalukan keluarga. Dia mungkin saja akan dibunuh oleh saudara laki, paman atau bahkan ayahnya sendiri untuk “membersihkan aib”. Meskipun pembunuhan ilegal, namun pelaku dapat bebas karena adat istiadat suku yang mendasari hal tersebut sangat kuat (Hegazy and Al-Rukban, 2014).

Konsep keperawanan yang dibentuk oleh faktor sosial, budaya dan agama seringkali justru bias gender dan merugikan perempuan. Pihak perempuan seringkali tidak berdaya dengan adanya penilaian keperawanan dari ada tidaknya selaput dara dan mitos bahwa harus ada darah saat malam pertama, sedangkan pihak laki – laki tidak harus mengalami pembuktian akan hal ini. Himen membuktikan kemurnian seorang perempuan, dimana konteks sosiokultural dan agama masih sangat menjunjung tinggi nilai ini terutama di negara – negara Timur Tengah, Asia dan negara – negara Muslim lainnya (Matswetu and Bhana, 2018). Meskipun konsep virginity diartikan tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah baik untuk lali – laki dan perempuan dalam Christianity, Judaism dan Islam, namun pada laki – laki hal tersebut tidak dapat dibuktikan secara fisik seperti adanya himen pada perempuan (Robatjazi et al., 2016).

Himen merupakan membran tipis, seperti kulit, tidak berambut yang mengelilingi lubang vagina, yang dapat dilihat pada orifisum vagina saat vagina terbuka, mempunyai variasi ukuran, bentuk dan keberadaan (Ghanim, 2015). Dalam artian bahwa setiap perempuan mempunyai himen dengan berbagai bentuk ukuran dan tidak setiap perempuan mempunyai himen. Keberadaan himen sendiri diduga merupakan sisa dari pembentukan embrio yang seringkali hilang atau mengalami “perforasi” dalam masa kehamilan lima bulan atau sebelum bayi perempuan lahir. 1 dari 1000 bayi perempuan tidak mengalami “perforasi” dan utuh sampai dengan lahir, dan menutupi orifisium vagina yang merupakan kondisi anomali yang disebut himen imperforata (Christianson and Eriksson, 2013). Bentuk paling umum dari himen berbentuk lingkaran dan bulan sabit. Keberadaan himen secara fisiologi anatomi tidak terlihat fungsinya secara jelas, terjadinya robekan pada himen juga tidak menyebabkan gangguan kesehatan, namun seperti yang telah disampaikan sebelumnya himen mempunyai fungsi secara psikologis dan kultural sebagai penanda keperawanan (Hobday, Haury and Dayton, 1997). Sebuah hipotesis lain mengatakan bahwa himen berfungsi sebagai pelindung dari kontaminasi dari fekal atau material lain terutama pada awal masa kehidupan bayi.

Mengenal lebih jauh mengenai berbagai macam bentuk himen dapat membantu remaja perempuan dan pasangan pranikah untuk memahami konsep himen dan hubungannya dengan mitos – mitos keperawanan (Paterson-Brown, 1998).

Mitos – mitos tentang keberadaan himen cukup luas. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa himen adalah selaput yang menutupi lubang vagina, namun faktanya himen merupakan selaput atau membran yang berada di sekeliling atau melingkari orifisium vagina. Pada masa pubertas ukuran diameter lubang himen sekitar 6 mm, meskipun hal ini tidak akan sama pada setiap remaja. Fakta kedua mengenai keberadaan himen adalah bahwa penampakan himen akan berubah sesuai usia. Bentuk, ukuran dan fleksibilitas himen sangat bervariasi dan berubah seiring perkembangan usia perempuan. Pada awal masa kehidupan bayi, himen berbentuk tebal, berwarna pink pucat dan mungkin agak menonjol karena masih dipengaruhi oleh hormon ibu. Setelah usia 3 – 4 tahun, himen mulai mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan permukaan lebih halus yang menyesuaikan dengan perkembangan prepubertal. Pada masa pubertas, dengan pengaruh hormon estrogen, bentuk himen mulai lebih jelas dan elastisitasnya meningkat (Mishori et al., 2019).

Ada atau tidaknya himen dapat menggambarkan apakah seorang perempuan pernah melakukan hubungan seksual merupakan salah satu mitos yang terdapat di masyarakat luas. Faktanya perubahan pada himen tidak selalu menunjukkan adanya hubungan seksual. Intaknya himen dan “blood on the sheet” di ranjang pengantin (yang menandakan robeknya himen saat itu) tidak dapat digunakan sebagai indikator virginitas. Beberapa penelitian ilmiah membantah anggapan tersebut dan menunjukkan tidak ada bukti yang mendukung kepercayaan tersebut. Himen merupakan membran yang mempunyai vaskularisasi yang sangat sedikit, meskipun membran ini robek, sangat mungkin tidak terjadi perdarahan. Penetrasi yang kasar dan kurangnya lubrikasi mungkin menyebabkan laserasi dinding vagina, kedua hal tersebut kemungkianan besar yang menyebabkan perdarahan  dari pada kemungkinan adanya trauma pada himen. Faktanya pada beberapa penelitian perdarahan tidak selalu terjadi pada hubungan seksual pertama kali (Whitley, 1978; Loeber, 2014; Stark, 2016).

Tes keperawanan seringkali digunakan sebagai syarat untuk memasuki pendidikan atau pekerjaan tertentu. Seperti di Indonesia, syarat untuk mendaftar menjadi seorang polisi wanita atau TNI harus menjalani tes keperawanan. Demikian juga persyaratan untuk menjadi istri dari seorang polisi atau TNI juga harus menjalani tes tersebut. Membuka pakaian di depan dokter yang tidak semua perempuan, dilihat organ intimnya kemudian disebutkan intak atau tidak himen-nya. Pemeriksaan tersebut sangat merendahkan dan mempermalukan seorang perempuan. WHO menerbitkan himbauan untuk menghapus adanya tes keperawanan tersebut dengan pertimbangan adanya trauma, diskriminasi dan melanggar privasi serta integritas fisik seorang perempuan (WHO, 2018). Meskipun dari beberapa pihak menyebutkan bahwa tes keperawanan bertujuan sebagai standar moral atau karakter untuk menjadi seorang polisi atau tentara, namun hal ini tidak selalu dapat membuktikan hal tersebut. Keperawanan tidak selalu menjamin baiknya karakter dan tidak berhubungan dengan jenis pekerjaan sebagai polisi ataupun tentara (Harsono, 2014). Saat ini dikabarkan bahwa tes tersebut sudah tidak lagi dilakukan sebagai persyaratan, hal ini patut diapresiasi sebagai upaya penghapusan bias gender dalam persyaratan calon Polisi wanita ataupun TNI.

Edukasi mengenai mitos dan fakta himen dan konsep keperawanan sangat penting diberikan kepada remaja dan pasangan pranikah. Sebab beberapa penelitian menunjukkan adanya pemahaman yang tidak tepat mengenai hal ini, keperawanan hanya dinilai dengan intaknya himen, namun remaja tetap melakukan aktifitas seksual selain penetrasi vagina, seperti oral seks, petting maupun anal seks, lantas mereka yang melakukan hal ini apakah tetap disebut perawan ? (Mehrolhassani et al., 2020). Fakta yang cukup memprihatinkan mengenai penilaian virginitas banyak terjadi di India dan Afganistan. Pernikahan remaja cukup banyak terjadi karena pengaruh budaya di negara tersebut. Status janda seringkali disandang oleh remaja di bawah usia 18 tahun. Mereka diceraikan oleh suaminya dengan alasan tidak perawan saat menikah. Hal ini tentu saja menghancurkan kehidupan dan masa depan perempuan – perempuan yang mengalami hal ini. Dan masa depan tentu saja akan lebih sulit untuk mereka. Keperawanan bahkan menjadi jaminan hidup atau mati pada budaya Arab (Hegazy and Al-Rukban, 2014), keperawanan menentukan tingginya “mas kawin” di Zimbabwe (Matswetu and Bhana, 2018) dan keperawanan menjadi syarat masuk instansi tertentu di Indonesia (Harsono, 2014).

Dengan demikian dapat  ditarik kesimpulan bahwa virginitas tidak sama dengan ada atau tidaknya hymen, ada atau tidaknya “blood on the sheet” pada saat malam pertama, tetapi virginitas adalah kemurnian baik seorang laki – laki maupun perempuan yang mampu menjaga dirinya untuk tidak melakukan premarital sex. Konsep ini penting sekali untuk dipahami oleh remaja dan pasangan pranikah untuk lebih menghargai perempuan, mengurangi bias gender dan melindungi hak – hak perempuan. Hal ini juga akan berpengaruh ketika dihadapkan dengan calon pengantin yang disebut sebagai seorang “perawan” atau seorang “janda” hanya dalam artian sudah pernah menikah atau belum pernah menikah, harapannya bahwa seorang perempuan entah itu yang sudah pernah menikah atau belum, tetap mendapatkan hak yang sama, pengakuan yang sama dan tetap dihargai utuh sebagai seorang perempuan yang lengkap dengan atau tidak adanya hymen.

Daftar Pustaka

Christianson, M. and Eriksson, C. (2013) ‘Myths and misconceptions : Midwives ’ perception of the vaginal opening or hymen and virginity’, ResearchGate, (February). doi: 10.12968/bjom.2013.21.2.108.

Ghanim, D. (2015) The Virginity Trap in the Middle East. 1st edn. New York, United States: Palgrave Macmillan. doi: 10.1057/9781137507082.

Harsono, A. (2014) Indonesia ‘virginity tests’ for female police. Testing applicants is discriminatory, cruel, degrading. New York, United States.

Hegazy, A. A. and Al-Rukban, M. O. (2014) ‘Hymen : Facts and conceptions’, The Health, 3(4), pp. 109–115.

Hobday, A. J., Haury, L. and Dayton, P. K. (1997) ‘Function of the human hymen’, Medical Hypotheses, 49, pp. 171–173.

Loeber, O. (2014) ‘Over het zwaard en de schede; bloedverlies en pijn bij de eerste coïtus Een onderzoek bij vrouwen uit diverse culturen’, Tijdschrift voor Seksuologie, 32, pp. 129–137.

Matswetu, V. S. and Bhana, D. (2018) ‘Humhandara and hujaya : Virginity , Culture , and Gender Inequalities Among Adolescents in Zimbabwe’, Reproductive Health in Sub-Saharan Africa. doi: 10.1177/2158244018779107.

Mehrolhassani, M. H. et al. (2020) ‘The concept of virginity from the perspective of Iranian adolescents : a qualitative study’, BMC Public Health. BMC Public Health, 20(717), pp. 1–8.

Mishori, R. et al. (2019) ‘The little tissue that couldn ’ t – dispelling myths about the Hymen ’ s role in determining sexual history and assault’, Reproductive Health. Reproductive Health, 16(74), pp. 1–9.

Parth, M. N. (2018) ‘The humiliating “virginity tests” for brides, a reality in India’s Kanjarbhat community’, The Indian Express, February.

Paterson-brown, S. (1998) ‘Commentary : Education about the hymen is needed’, 316(February), p. 1998.

Robatjazi, M. et al. (2016) ‘Virginity Testing Beyond a Medical Examination’, Global Journal of Health Science, 8(7), pp. 152–164. doi: 10.5539/gjhs.v8n7p152.

Saraiya, H. A. (2019) ‘Surgical revirgination Four vaginal mucosal flaps for reconstruction of a hymen’, Indian Journal of Plastic Surgery, 48, pp. 192–195. doi: 10.4103/0970-0358.163060.

Stark, M. M. (2016) ‘The hymen is not necessarily torn after sexual intercourse’, BMJ Open, 317. doi: 10.1136/bmj.317.7155.414.

The Week (2019) ‘“Blood” to fake virginity on first night available on Amazon!’ Available at: https://www.theweek.in/news/india/2019/11/14/blood-to-fake-virginity-on-first-night-available-on-amazon.html.

Whitley, N. (1978) ‘The First Coital Experience of One Hundred Women’, JOGN Nursing, pp. 41–45.

WHO (2018) Eliminating Virginity Testing: An Interagency Statement, WHO. Geneva.

Author Info

Tim Kerja Hukum & Humas

Tim Kerja Hukum dan Hubungan Masyarakat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

No Comments

Comments are closed.